Shadow
Economy dan Pajak Di Indonesia sendiri, tax
ratio yang masih rendah salah satunya dipengaruhi oleh
perilaku shadow economy. Menurut OECD, ada 57%
porsi tenaga kerja di Indonesia terdapat di sektor informal.
Artinya, sektor ini cenderung tidak dapat dilihat oleh regulasi pemerintah
secara langsung dan tidak tersentuh. Sektor informal sendiri banyak
macamnya dan memang otoritas pajak acap kali tidak dapat menjangkau sektor ini
karena peraturan sulit diterapkan kepada mereka. Ini membuat banyak potensi
penerimaan pajak lepas begitu saja. Padahal jika diproyeksikan,
memungkinkan untuk menambah penerimaan negara secara signifikan. Para pelaku shadow
economy layaknya ikan-ikan kecil yang dijaring menggunakan jaring
berlubang besar. Banyak diantara mereka mencatatkan penghasilannya di bawah
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Alhasil, mereka tidak wajib mendaftarkan
diri sebagai wajib pajak serta memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan
tidak dapat dikenai pajak sesuai dengan peraturan yang ada. Sebagai gambaran, mari kita bicara
tentang UMKM yang merepresentasikan sektor rumah tangga. Jumlah UMKM
berdasarkan data Kementerian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah per tahun 2022
terdapat 8,71 juta UMKM. Data ini tidak bisa ditelan mentah-mentah begitu saja
bahwa benar-benar penghasilan yang didapat dari 8,71 pelaku usaha ini masuk
dalam kategori usaha mikro maupun usaha kecil. UMKM sendiri termasuk ke dalam salah
satu jenis pelaku usaha yang rawan terjadi praktik shadow
economy. Asumsikan saja ada satu juta UMKM yang secara regulasi belum
tersentuh aturan PPh Final UMKM karena belum mendaftarkan diri sebagai wajib
pajak. Dari satu juta UMKM tersebut asumsikan juga penghasilan per tahun mereka
adalah Rp600 juta. Lalu dengan batasan tidak kena pajak sesuai PP 23 Tahun
2018, Rp100 juta penghasilan mereka akan dikenai tarif PPh Final UMKM setengah
persen. Kira-kira Rp500 ribu pajak
penghasilan yang dibayarkan oleh satu pelaku UMKM. Bagaimana dengan 1 juta
UMKM? Ada Rp 500 milyar pendapatan pajak yang berpotensi hilang akibat dari shadow
economy yang terjadi. Hanya karena aturan belum dapat menjangkau para
pelakunya dengan regulasi yang ada. Dan ini baru dari UMKM yang notabene
mencerminkan sector rumah tangga atau informal. Bagaimana dengan sector lain? Apalagi selama ini kewajiban
mendaftarkan diri sebagai wajib pajak dan memiliki NPWP adalah kewajiban
sukarela. Semakin sulit menjangkau dan mengidentifikasi kebenaran nilai
transaksi yang dilakukan para pelaku ekonomi bawah tanah ini. Dan parahnya,
semakin lama dibiarkan, akan semakin besar potensi yang hilang dari pajak yang
seharusnya dibayarkan oleh mereka. Menanggapi hal ini, pemerintah tidak
tinggal diam begitu saja. Beberapa langkah yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia dengan cara mengubah beberapa regulasi. Antara lain menerapkan Nomor
Induk Kependudukan (NIK) sebagai identitas pemajakan menggantikan NPWP per 1
Januari 2024. Dengan berlakunya aturan ini, diharapkan dapat mengatasi jaring
yang terlalu lebar. Paling tidak, sektor informal yang belum tersentuh oleh
regulasi dapat terlihat terlebih dahulu untuk kemudian diambil kebijakan yang
paling tepat nantinya untuk mereka.
Kemudian, untuk pelaku ekonomi sektor rumah tangga dalam hal ini UMKM, pemerintah mengatur bahwa sektor ekonomi dengan omzet di bawah Rp500 juta tidak dikenai pajak penghasilan. Paling tidak aturan ini dapat mengurangi celah tax ratio yang ada. Sehingga penerapan peraturan perpajakan yang ada dapat dioptimalkan kembali. Selain itu, beleid ini juga dapat mendorong para pelaku sektor ekonomi rumah tangga untuk naik kelas ke jenjang berikutnya. Ketika mereka naik kelas, aturan pemajakan atas usaha mereka akan lebih jelas dan lebih adil. Demikian diharapkan dapat mengurangi praktik-praktik shadow economy. Oleh: Mukhamad Wisnu Nagoro, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
|