• 09.00 s.d. 18.00

Reformasi Pajak Pertambahan Nilai untuk Keadilan Sosial

Pemerintah mendorong reformasi APBN untuk mendukung reformasi struktural. Salah satunya adalah penerimaan APBN dengan disahkannya Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP).


Di antara berbagai isu penting, HPP mereformasi sistem pajak pertambahan nilai (PPN) agar lebih adil dan mampu memanfaatkan potensi ekonomi masa depan.


“Reformasi PPN terutama ditujukan untuk mencapai dua tujuan, yaitu mampu mengantisipasi perubahan struktur ekonomi di masa depan dan menjaga pemerataan beban pajak bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Febrio Kacaribu, Direktur Biro Kebijakan Fiskal (BKF)..


Di sisi lain, Direktur Jenderal (Dirjen) Departemen Pajak Suryo Utomo mengatakan: "Tujuan utama dari perubahan PPN dalam undang-undang HPP adalah untuk memperluas basis PPN dengan berfokus pada pengecualian dan kondisi yang menguntungkan. PPN, menaikkan tarif PPN secara bertahap, akses fasilitas dan pembebasan PPN agar fasilitas PPN lebih adil dan tepat sasaran.


Dalam undang-undang HPP, perluasan dasar PPN untuk mengoptimalkan penerimaan negara selalu memperhatikan asas pemerataan dan kesempatan. Terutama dalam memajukan kepentingan bersama dan prinsip kepentingan nasional. Hal ini sesuai dengan prinsip keadilan perpajakan dan kepastian hukum.


Kemampuan Indonesia untuk mewujudkan visinya menjadi negara maju pada tahun 20 5 sangat terbuka jika dapat memanfaatkan tren perubahan yang menguntungkan dalam struktur demografi saat ini. Hal ini ditunjukkan dengan relatif dominannya kelompok usia produktif dan semakin berkurangnya ketergantungan penduduk. Selain itu, pertumbuhan kelas menengah yang berkelanjutan dengan proporsi konsumsi yang besar juga merupakan peluang yang sangat penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks ini, UU HPP memiliki implikasi penting untuk memanfaatkan peluang kelas menengah yang terus tumbuh. Penyesuaian ketentuan PPN dalam HPP juga memperhitungkan peluang peningkatan konsumsi masyarakat akibat tumbuhnya kelas menengah.
Selain itu, dengan memperhatikan aspirasi masyarakat, disediakan pula barang-barang kebutuhan pokok yang tidak layak bagi masyarakat, pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, pelayanan sosial dan beberapa jenis pelayanan lainnya. Dengan demikian, walaupun merupakan barang dan jasa kena pajak, masyarakat berpenghasilan rendah atau sedang tetap tidak perlu membayar PPN atas konsumsi barang dan jasa tersebut karena mereka memperoleh manfaat darinya.
Seperti kita ketahui, dasar PPN mengatur pengeluaran pajak tahunan. Pada tahun 2020, belanja pajak terkait PPN akan mencapai Rs 1 0, triliun, atau sekitar 60% dari total belanja pajak sebesar Rs 23 ,9 triliun. Di antaranya, Rp 0,6 triliun berasal dari kebijakan pembebasan PPN usaha kecil (VAT threshold).


Sementara itu, kenaikan tarif PPN dilakukan secara bertahap yaitu menjadi 11% mulai 1 April 2022 dan menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan perbaikan kondisi ekonomi dan optimalisasi pemerintahan. pergantian. sekaligus mewujudkan sistem perpajakan yang adil dan sehat secara hukum.
Mengenai tarif PPN negara lain, tarif PPN di Indonesia relatif lebih rendah dari rata-rata dunia sebesar 15, %. Persentasenya juga lebih rendah di Filipina (12%), China (13%), Arab Saudi (15%), Pakistan (17%) dan India (18%). Selain itu, pemungutan PPN juga akan dipermudah untuk jenis barang, jasa, atau bidang kegiatan tertentu berkat penerapan tarif PPN yang ditetapkan. Misalnya 1%, 2% atau 3% dari lalu lintas komersial. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan tarif PPN dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kemudahan administrasi seperti yang telah dilakukan oleh pemerintah selama ini.


Pemerintah juga berkomitmen untuk memperkuat bantuan sosial dan program perlindungan sosial lainnya untuk memastikan bahwa kebutuhan dasar keluarga miskin dan rentan terpenuhi. Untuk pangan, pendidikan dan kesehatan merupakan bagian dari program percepatan pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan.

 Copyright stekom.ac.id 2018 All Right Reserved