Reformasi
Pajak Pertambahan Nilai untuk Keadilan SosialPemerintah mendorong reformasi APBN untuk
mendukung reformasi struktural. Salah satunya adalah penerimaan APBN dengan disahkannya
Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP).
Di antara berbagai isu penting,
HPP mereformasi sistem pajak
pertambahan nilai (PPN) agar lebih adil dan mampu memanfaatkan
potensi ekonomi masa depan.
“Reformasi PPN terutama ditujukan untuk
mencapai dua tujuan, yaitu mampu
mengantisipasi perubahan struktur ekonomi di masa depan dan menjaga pemerataan
beban pajak bagi seluruh rakyat
Indonesia,” kata Febrio Kacaribu,
Direktur Biro Kebijakan Fiskal (BKF)..
Di sisi lain, Direktur Jenderal (Dirjen) Departemen Pajak Suryo Utomo mengatakan: "Tujuan utama dari perubahan PPN dalam undang-undang HPP adalah untuk memperluas basis PPN dengan berfokus pada pengecualian dan kondisi yang menguntungkan. PPN, menaikkan tarif PPN secara bertahap, akses fasilitas dan pembebasan PPN agar fasilitas PPN
lebih adil dan tepat sasaran.
Dalam undang-undang HPP,
perluasan dasar PPN untuk mengoptimalkan penerimaan negara selalu memperhatikan asas pemerataan dan kesempatan. Terutama dalam memajukan kepentingan bersama dan prinsip
kepentingan nasional. Hal ini sesuai
dengan prinsip keadilan
perpajakan dan kepastian hukum.
Kemampuan Indonesia untuk
mewujudkan visinya menjadi
negara maju pada tahun 20 5
sangat terbuka jika dapat memanfaatkan
tren perubahan yang
menguntungkan dalam struktur demografi saat ini. Hal ini ditunjukkan dengan relatif dominannya
kelompok usia produktif dan semakin
berkurangnya ketergantungan penduduk. Selain itu, pertumbuhan kelas menengah yang berkelanjutan dengan proporsi
konsumsi yang besar juga merupakan
peluang yang sangat penting untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks ini, UU HPP memiliki implikasi penting untuk
memanfaatkan peluang kelas menengah
yang terus tumbuh. Penyesuaian ketentuan
PPN dalam HPP juga memperhitungkan peluang peningkatan konsumsi masyarakat akibat tumbuhnya kelas menengah.
Selain itu, dengan memperhatikan aspirasi masyarakat, disediakan pula barang-barang
kebutuhan pokok yang tidak layak bagi
masyarakat, pelayanan kesehatan, pelayanan
pendidikan, pelayanan sosial dan
beberapa jenis pelayanan lainnya.
Dengan demikian, walaupun
merupakan barang dan jasa kena pajak, masyarakat berpenghasilan rendah atau sedang tetap tidak perlu membayar PPN atas konsumsi
barang dan jasa tersebut karena
mereka memperoleh manfaat darinya.
Seperti kita ketahui, dasar PPN mengatur pengeluaran pajak tahunan.
Pada tahun 2020, belanja pajak terkait PPN akan mencapai Rs 1 0, triliun, atau sekitar 60% dari total belanja pajak
sebesar Rs 23 ,9 triliun. Di antaranya, Rp 0,6 triliun berasal dari
kebijakan pembebasan PPN usaha kecil (VAT threshold).
Sementara itu, kenaikan tarif PPN dilakukan secara bertahap yaitu menjadi 11% mulai 1 April 2022 dan menjadi 12%
paling lambat 1 Januari 2025. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan perbaikan kondisi ekonomi dan optimalisasi pemerintahan. pergantian.
sekaligus mewujudkan sistem perpajakan yang adil dan sehat secara
hukum.
Mengenai tarif PPN negara lain, tarif PPN di Indonesia
relatif lebih rendah dari rata-rata
dunia sebesar 15, %. Persentasenya juga
lebih rendah di Filipina (12%), China (13%), Arab Saudi (15%),
Pakistan (17%) dan India (18%). Selain
itu, pemungutan PPN juga akan dipermudah
untuk jenis barang, jasa,
atau bidang kegiatan tertentu berkat penerapan tarif PPN yang ditetapkan. Misalnya 1%, 2% atau 3% dari lalu lintas komersial. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan tarif PPN dilakukan dengan
mempertimbangkan aspek kemudahan administrasi seperti yang telah dilakukan oleh pemerintah selama ini.
Pemerintah juga berkomitmen untuk memperkuat
bantuan sosial dan program perlindungan sosial lainnya untuk memastikan bahwa kebutuhan dasar
keluarga miskin dan rentan terpenuhi.
Untuk pangan, pendidikan
dan kesehatan merupakan bagian
dari program percepatan pengentasan
kemiskinan dan pemberdayaan.
|