WAJIB pajak harus hati-hati dengan perluasan objek pajak pertambahan nilai (PPN). Sebab, ada potensi masalah di balik kebijakan ini, terutama dengan berubahnya kriteria barang dan jasa yang selama ini "tidak terutang" pajak menjadi barang atau jasa strategis yang "dibebaskan" pajak. Pemerintah melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menghapus sejumlah barang dan jasa dari negative list atau daftar tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Tujuannya, memperluas basis pemajakan atau meningkatkan penerimaan pajak. Ada 13 item di Pasal 4A UU PPN yang dicoret dari negative
list berdasarkan UU HPP, yaitu: barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran
yang diambil langsung dari sumbernya; barang kebutuhan pokok yang sangat
dibutuhkan oleh rakyat banyak; jasa pelayanan kesehatan medis; jasa
pelayanan sosial; jasa pengiriman surat dengan perangko; jasa
keuangan; jasa asuransi; jasa pendidikan; jasa penyiaran yang tidak
bersifat iklan; jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa
angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
jasa angkutan udara luar negeri; jasa tenaga kerja; jasa telepon
umum dengan menggunakan uang logam; dan jasa pengiriman uang dengan wesel
pos. Meski dihapus dari negative list, beberapa item seperti kebutuhan
pokok, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan
dikategorikan ulang sebagai barang dan jasa strategis yang direncanakan
mendapatkan fasilitas pembebasan PPN. Ini menjadi ambigu karena secara
substansi sebenarnya hampir sama. Barang dan jasa yang berubah status dari
”tidak terutang” menjadi ”dibebaskan” sama-sama tetap tidak dikenakan PPN. Selama ini wajib pajak di sektor usaha tersebut hanya perlu
menyampaikan total nilai penyerahan yang tidak terutang pajak di surat
pemberitahuan (SPT) PPN. Dengan berlakunya UU HPP maka ke depan wajib pajak
harus menerbitkan faktur pajak untuk barang atau jasa itu. Ini akan
menjadi beban kepatuhan baru bagi wajib pajak dan berdampak cukup serius
terhadap iklim kemudahan berusaha di Indonesia. Sebab, membuat dan menerbitkan
faktur pajak untuk transaksi yang tak sedikit membutuhkan waktu dan ketelitian
yang tinggi. Sekilas ketiga frasa tersebut sama saja: tidak kena PPN. Namun, bagi wajib pajak, masing-masing frasa memiliki implikasi yang berbeda, terutama menyangkut kewajiban menerbitkan faktur pajak dan pengkreditan pajak masukan. “Tidak terutang” dalam rezim PPN Indonesia berarti tidak kena pajak dan tidak diwajibkan membuat faktur pajak. Dalam hal ini, wajib pajak tidak dapat mengkreditkan pajak masukannya. Sementara itu, PPN “tidak dipungut” dan “dibebaskan” adalah
fasilitas dari pemerintah yang sama-sama tidak mengenakan pajak atas barang
atau jasa yang seharusnya terutang PPN. Namun, pengusaha kena pajak (PKP) yang
menerima kedua fasilitas tersebut diwajibkan menerbitkan faktur pajak setiap
melakukan penyerahan barang atau jasa. Bedanya, PKP penerima
fasilitas “tidak dipungut” PPN dapat mengkreditkan pajak masukan.
Sedangkan, PKP penerima fasilitas “dibebaskan” PPN tidak dapat mengkreditkan
pajak masukan. Dengan tidak dapat dikreditkannya pajak masukan
maka harga jual produk atau jasa berpotensi naik. Lazimnya, pengusaha cenderung
akan melimpahkan beban pajak ini ke konsumen. SUMBER:
https://money.kompas.com/read/2021/11/01/153528026/potensi-masalah-di-balik-perluasan-objek-ppn?page=2 |