Neuromarketing dan Imbasnya pada Tax-Gap Lee,
Lim, dan Ulman (dalam Fauzi dan Riyanto, 2022) mendefinisikan neuromarketing
sebagai sebuah ide revolusioner dalam bidang ekonomi yang menggabungkan
berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmu syaraf, psikologi, dan ekonomi (khususnya
pemasaran). Dengan
kata lain, neuromarketing melihat adanya hubungan antara pikiran bawah sadar
manusia dengan keputusan yang terkadang tidak rasional, seperti saat membeli
produk. Penerapan strategi pemasaran ini adalah dengan menggabungkan hal-hal
yang bersifat personal seperti kondisi pikiran, warna kesukaan, topik yang sedang
hangat dibicarakan, tokoh yang diidolakan, dan sebagainya, dan mengolahnya
untuk mempengaruhi keputusan pembeli melalui persepsi merek dan memberikan
pengalaman berbelanja yang baru. Keberadaan
neuromarketing tentu saja merupakan buntut dari perkembangan teknologi yang
begitu cepat dan tanpa batas sebagai bentuk nyata dari era Revolusi Industri
4.0. Era ini menciptakan perubahan sikap dan kebiasaan masyarakat dalam hal
konsumsi dan aspek ekonomi yang pada akhirnya berujung pada isu-isu sosial
lainnya seperti kualitas hidup dan pemenuhan diri. Meskipun
relatif baru, pendalaman neuromarketing diprediksi akan meningkatkan volume
barang yang dijual, yang berimplikasi pada peningkatan tingkat konsumsi massal
masyarakat Indonesia. Sejalan dengan pendapat tersebut, beberapa pengamat
menjelaskan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami
pertumbuhan ekonomi yang pesat dalam satu dekade terakhir, dengan budaya
konsumerisme yang besar dan daya beli yang tinggi. Jumlah
penduduknya akan mencapai 275 juta jiwa pada tahun 2022 (BPS, 2022). Fakta ini
meningkatkan potensi keberhasilan aplikasi neuromarketing dan menjadikan
Indonesia sebagai konsumen terbesar di pasar perdagangan global. Salah
satu bukti tren lonjakan konsumsi terjadi pada tahun 2022. Bank Indonesia
melaporkan bahwa nilai transaksi e-commerce atau perdagangan elektronik di
Indonesia sebesar Rp 475,3 triliun dan volume transaksi sebanyak 3,49 miliar
kali. Jumlah ini lebih tinggi 18,8% dari tahun sebelumnya yang hanya Rp 401
triliun; dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) tahun 2022 yang
tercatat Rp 19.588,4 triliun, jumlah transaksi digital sebagai persentase dari
PDB adalah 2,42%. Sebaliknya,
pengeluaran konsumsi rumah tangga (RT), komponen terbesar dari PDB pada tahun
2022, tercatat sebesar Rp10.160,4 triliun, dengan jumlah transaksi digital
sebagai persentase dari pengeluaran konsumsi RT sebesar 4,68%.
Namun, jumlah yang tercatat masih lebih rendah dari target e-commerce sebesar Rp489 triliun yang ditetapkan oleh Bank Sentral dan jauh lebih rendah dari estimasi total nilai transaksi digital sebesar US$55-650 miliar atau Rp838-990 triliun dari survei Mckinsey tahun 2018. . Artinya, fenomena konsumsi yang terjadi dalam bentuk transaksi digital di Indonesia masih dapat diartikan sebagai peluang. https://www.pajak.go.id/id/artikel/neuromarketing-dan-imbasnya-pada-tax-gap |