DITJEN Pajak
(DJP) terus berupaya melakukan inovasi untuk menyederhanakan proses pelaporan
Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Penyederhanaan tersebut salah satunya
melalui penerapan pre-populated tax return dalam pelaporan SPT
Tahunan pajak penghasilan (PPh). Penerapan pre-populated tax return itu
dimaksudkan untuk memudahkan wajib pajak dalam menjalankan kewajiban pajaknya.
Kemudahan itu berupa terisinya penghasilan yang telah dipotong oleh pemberi
kerja secara otomatis pada formulir SPT. Ringkasnya,
melalui sistem pre-poulated tax return, wajib pajak akan
mendapat pop up atau notifikasi apabila terdapat data
penghasilan yang telah terekam. Selanjutnya, wajib pajak diberikan pilihan
untuk menggunakan data yang telah tersedia atau tidak. Data yang dimaksud di
antaranya seperti penghasilan bruto sehubungan dengan pekerjaan dan jumlah PPh
yang telah dipotong. Apabila menggunakan data tersebut, wajib pajak cukup
mengonfirmasi kebenarannya serta menambahkan data penghasilan lain (jika ada),
harta, utang, serta informasi lain yang belum terisi. Selain Indonesia,
berbagai negara juga sudah menerapkan sistem pre-populated tax return ini.
Sistem ini sering juga disebut sebagai pre-filled return, pre-completed
return, atau pro-forma return. Lantas, sebenarnya, apa itu pre-populated
tax return?
Definisi MERUJUK
publikasi Intra-European Organisation of Tax Administration/IOTA (2008), pre-filled
return adalah layanan yang disediakan oleh otoritas pajak pada banyak negara
untuk memudahkan wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakan dan mengeklaim
haknya. Layanan pre-filled return tersebut membuat sebagian
informasi yang harus dilaporkan dalam SPT telah terisi. Wajib pajak hanya perlu
meninjau informasi yang termuat, yaitu dengan memeriksa kebenaran informasi
tersebut atau menambahkan detail yang kurang. Sementara
itu, IBFD International Tax Glossary (2015) mendefinisikan pre-populated
tax return sebagai sistem pelaporan pajak dengan cara
otoritas memasukan data wajib pajak menggunakan informasi dari pihak ketiga
atau informasi yang sudah dimiliki. Serupa dengan IBFD, OECD (2006)
mendefinisikan pre-populated tax return sebagai sistem
pelaporan dengan peran otoritas pajak sebagai pihak yang memasukkan informasi
relevan wajib pajak. Informasi itu bersumber dari pihak ketiga serta sumber
yang valid lainnya. Informasi
yang bersumber dari pihak ketiga akan tersedia secara otomatis pada formulir
laporan SPT wajib pajak. Selanjutnya, wajib pajak melakukan konfirmasi atas
kesesuaian data dan informasi yang disediakan tersebut (OECD, 2006). Adapun
proses konfirmasi dan verifikasi atas kesesuaian data pre-populated bergantung
pada kebijakan masing-masing negara. Pada umumnya, untuk konfirmasi, wajib
pajak dapat melakukan koreksi secara langsung pada formulir yang tersedia.
Skema ini diterapkan di Finlandia dan Australia. Sementara
itu, di Denmark, koreksi atas data pre-populated oleh wajib
pajak harus melalui pengecekan dokumen pendukung oleh otoritas pajak (IBFD,
2015). Menurut Highfield (2006), apabila ditinjau dari cakupan informasi yang
dapat diakses dan diintegrasikan oleh otoritas pajak, pre-populated tax
return dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu komprehensif dan
parsial. Program yang bersifat komprehensif umumnya telah memunculkan beragam
informasi dalam pelaporan SPT wajib pajak, yaitu:
Sementara
program yang bersifat parsial hanya mencakup salah satu atau sebagian dari
informasi-informasi tersebut. Adapun pre-populated tax return umumnya
digunakan untuk jenis pajak yang dikenakan atas penghasilan baik untuk orang
pribadi maupun badan. Namun demikian, program ini dapat juga digunakan untuk
jenis pajak lainnya, seperti goods and services tax (Yustisia,
2018). Pembahasan mengenai pre-populated tax return beserta
efektifitas sistem tersebut dalam meningkatkan kepatuhan juga dapat disimak
pada artikel analisis Menilik Gagasan Pre-Populated Tax Return yang
ditulis oleh Senior Reseacher DDTC Dea Yustisia pada
2018.
SUMBER:
https://atpetsi.or.id/mudahkan-wajib-pajak-apa-itu-pre-populated-tax-return |