KETIKA masih kecil kita sering kali ditanya, “kalau sudah besar mau jadi
apa?”. Ada yang mengatakan ingin menjadi petugas pemadam kebakaran. Selain itu,
banyak juga yang menjawab ingin menjadi dokter. Ambisi seorang anak bisa saja
terpelihara sampai dewasa sebelum ia menemukan hal-hal lain yang dapat
membelokkan cita-citanya dan mengalihkan tujuan kariernya. Baik itu kenyataan
yang tidak sesuai dengan bayangannya, maupun hal lain yang lebih. Bekerja
adalah salah satu cara manusia mewujudkan makna hidup sehingga sering kali kita
hanya fokus memikirkan hal-hal terkait pekerjaan. Apakah ini profesi yang ingin
saya jalani? Bagaimana saya bisa mengembangkan karier lebih lanjut? Apakah saya
akan mengambil pendidikan lebih lanjut? Sebagai people manager, sadarkah kita
bahwa setiap anggota tim menyimpan pertanyaan-pertanyaan tersebut? Sebagai
employer, atasan, atau profesional di departemen human capital, kita merupakan
pihak yang perlu membimbing mereka untuk mencari jawaban atas pertanyaan itu
agar motivasi mereka dalam bekerja tetap terjaga.
Bentuk baru pengembangan karier Dua dekade lalu,
pengembangan karier sering digambarkan sebagai pendakian, penggolongan
kepangkatan, atau peningkatan tangga karier. Sementara kondisi saat ini, ketika
organisasi menjadi semakin datar dan melebar, serta terjadinya disrupsi yang
mengharuskan perusahaan mengganti peran para manajernya, penggunaan tangga
karier sudah tidak relevan. Jalur karier tidak lagi statis sehingga fokus
pengembangannya lebih banyak mengarah pada continuous learning. Mereka yang
ingin mencapai jabatan lebih tinggi harus mengembangkan keterampilannya.
Pengembangan keterampilan pun perlu memperhatikan keseimbangan antara
keterampilan teknis dan nonteknis. Di satu sisi, proses ini juga harus
memperhatikan kondisi, seperti pengembangan individu yang bisa jadi memang
mentok pada tahapan tertentu. Akan tetapi, mereka tetap memiliki kontribusi
sangat berharga bagi organisasi. Karena itu, bisa dikatakan bahwa pengembangan
karier karyawan adalah usaha bahu-membahu antara para karyawan dan organisasi serta
atasannya. Dengan maraknya persaingan di pasar tenaga kerja, kita dapat melihat
bahwa loyalitas karyawan pada perusahaan kian meluntur. Individu pun jadi lebih
berani mencari kesempatan di luar perusahaan yang dapat memenuhi kebutuhannya.
Revolusi pengembangan karyawan Meski begitu, pengembangan karyawan perlu sejalan dengan percepatan
tuntutan pasar, baik dalam adaptabilitas, literasi teknologi, maupun manajemen
manusia. Jangan sampai manusia yang tadinya terlihat begitu hebat ketika
bergabung dengan organisasi 20 tahun lalu, tiba-tiba sekarang tertatih-tatih
mengikuti perkembangan pasar. Banyak perusahaan besar sudah memiliki
program-program pengembangan karyawan yang baku. Namun, mereka perlu terus
melakukan evaluasi secara berkala untuk melihat apakah programnya masih sesuai
dengan kebutuhan pasar. Apakah program itu mampu menjawab tuntutan globalisasi?
Apakah para talenta dalam program pengembangan tersebut dapat beradaptasi
terhadap perubahan yang demikian cepat? Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan agar pembelajaran menjadi lebih cepat dan terjadi di seluruh
organisasi. Pertama, kita perlu membudayakan kegiatan bertanya di seluruh
organisasi. Empati adalah prinsip dasar dari desain yang user-centered. Selain
harus memahami pelanggan, perusahaan pun perlu memahami kebutuhan pembelajaran
bagi setiap individu di dalamnya. Hal ini hanya bisa ditemukan dengan cara
bertanya.
Dalam kondisi serba-elektronik, misalnya,
pertemuan one on one antara atasan dan bawahan justru menjadi sangat penting.
Melalui pertemuan inilah, atasan dapat membaca apa yang menjadi fokus
bawahannya dan apa yang sudah atau belum mereka lakukan. Pada sesi itu pula,
atasan secara tidak langsung mendapat pembelajaran, umpan balik, dan berlatih
mendengar aktif. Kedua, learning experience harus diciptakan dan disadari.
Semboyan “kerja, kerja, kerja” saja tidak cukup lagi. Sekarang, harus ada
“belajar, belajar, belajar”. Ini merupakan tugas perusahaan untuk memberikan
kesempatan belajar bagi setiap individu. Setelah mengidentifikasi keterampilan
apa yang harus dipelajari para talent, kita perlu secara kreatif menciptakan
ajang belajar bagi mereka dan mengevaluasinya. Hal itu tentu membutuhkan banyak
usaha dan investasi, baik dari segi waktu maupun biaya. Akan tetapi, hasil yang
didapatkan akan sepadan. Learning moments akan membuat hubungan atasan dan
bawahan menjadi lebih erat. Atasan pun diharapkan berkreasi dalam menciptakan
pengalaman belajar dan menyesuaikannya dengan gaya belajar para bawahan. Ada
bawahan yang lebih senang belajar dari podcast untuk mempelajari suatu konsep.
Sementara itu, ada juga yang perlu praktik dan berdiskusi one on one agar dapat
lebih memahami. Pada zaman ini, generasi muda sudah dididik untuk mendapatkan
umpan balik. Mereka terbiasa mencari respons dari luar terhadap
tindakan-tindakannya. Budaya pemberian umpan balik ini bisa dimulai dari hal
positif untuk kemudian diseimbangkan dengan hal yang lebih konstruktif.
Dengan tuntutan baru tersebut, kita sebagai
pemimpin juga perlu mengingatkan semua jajaran manajemen untuk lebih efektif
dalam mengelola waktu. Sebab, besar kemungkinan kegiatan pembelajaran dilakukan
di sela-sela pengerjaan tugas. Tidak semua proses coaching harus dilakukan oleh
atasan masing-masing divisi. Kita juga bisa menitipkan proses belajar ini pada
divisi lain ataupun saling bertukar coachee, atau peserta pelatihan,
antardivisi. Pendekatan user-centered tersebut pasti akan membuat pekerjaan
menjadi lebih mudah karena inisiatif bawahan menjadi lebih kuat dan bersemangat.
sumber:
https://money.kompas.com/read/2022/07/16/080200826/menumbuhkembangkan-karyawan
|