Mengefektifkan GCG di BUMN
Beberapa waktu lalu, Kejaksaan Negeri menetapkan seorang direktur dan mantan direktur BUMN Karya sebagai tersangka korupsi penggunaan akad pembiayaan bank. Penetapan tersangka oleh Kejaksaan Kejaksaan Negeri merupakan titik awal bagi Kementerian Negara Persusuan (BUMN) untuk membenahi manajemen bisnisnya, atau program pembersihan BUMN. Menurut Kejaksaan Negeri, tugas tersangka adalah mengoordinasikan penyaluran supply chain financing (SCF) dengan dokumen palsu. Pendapatan dari pembayaran SCF digunakan untuk menyembunyikan aksinya, ternyata untuk membayar utang kepada vendor, yang kemudian diketahui fiktif, sehingga merugikan keuangan publik. Kasus ini menjadi bukti bahwa budaya korporasi BUMN masih diresapi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang memicu kecurangan-kecurangan yang merugikan negara. Kasus-kasus korupsi yang terungkap menunjukkan bahwa persoalan integritas masih menjadi persoalan di BUMN. Kembali ke tujuan mendirikan perusahaan negara yaitu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan menyelenggarakan kesejahteraan sosial, Kementerian BUMN harus menata kembali penyelenggaraan dan sistem tata kelola pemerintahan yang baik (HKT). Penerapan GCG Marciano et al. di sebelah (2018), GCG merupakan seperangkat aturan yang terkait dengan proses pengendalian perusahaan, dimana seluruh pemangku kepentingan dilibatkan untuk memastikan efektifitas perusahaan dalam mewujudkan visi dan misi perusahaan. Implementasi GCG yang efektif merupakan langkah untuk mencegah, menangkal, dan mempersulit tindak pidana korupsi. Namun, keyakinan GCG seolah-olah hanya menjadi “lipstik” bagi beberapa BUMN. Menegaskan telah memenuhi ketentuan yang berlaku dengan menyusun instruksi GCG untuk masing-masing nomor BUMN. Namun dalam praktiknya, ketentuan tersebut hanya sebatas pendaftaran, tanpa perlu dilaksanakan. Agar GCG dapat berjalan efektif terutama dalam pemberantasan korupsi di BUMN, maka diimplementasikan melalui kebijakan reward, whistleblowing system#40;WBS dan#41;, conflict of interest management, rich report. , agensi pemerintahan. (LHKPN), manual operasional dan ISO 37001 (sistem manajemen anti suap/praktik SMAP). Namun, penerapan kebijakan antikorupsi di perusahaan negara tidak efektif. Meskipun program pemantauan tip diatur secara khusus, implementasinya perlu ditingkatkan. Pegawai BUMN juga harus berani menolak tip atau melaporkannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi melalui Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG). Setiap BUMN juga menyediakan WBS untuk menghubungkan dan memfasilitasi staf dan pemangku kepentingan yang mengetahui adanya korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan. Namun, WBS masih memiliki kelemahan dalam safety reporting dan tracking reporting. Perusahaan harus memastikan bahwa pemasok dilindungi dari ancaman, intimidasi, atau tindakan tidak menyenangkan yang mungkin dilakukan oleh suatu pihak sebagai akibat dari pelaporan pelanggaran. Perusahaan juga harus menindaklanjuti pengaduan yang masuk, meskipun pemberitahuan tersebut tidak memuat dokumen identitas. Seperti halnya kontrol nasihat, konflik kepentingan secara efektif diatur secara terpisah. Namun demikian, masih terdapat kendala dalam penyelesaian benturan kepentingan terkait BUMN, misalnya belum adanya aturan sanksi yang tegas bagi pejabat BUMN yang terbukti melakukan benturan kepentingan. Ketidaktegasan sanksi berarti pembuat kebijakan tidak bisa berbuat banyak untuk menjatuhkan sanksi. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan melakukan reformasi dengan menerbitkan aturan benturan kepentingan yang lebih detail, khususnya pemberian sanksi kepada pejabat BUMN yang terbukti melakukan transaksi benturan kepentingan. Terkait LHKPN, perlu dilakukan evaluasi terhadap sistem e-LHKPN yang dibuat oleh KPK. Oleh karena itu, pimpinan LHKPN harus lebih serius memantau pelaksanaan usulan LHKPN tersebut. Selain itu, jika PNS yang lalai tidak menyampaikan kepada LHKPN, maka kepala pamong praja harus mengingatkan PNS tersebut dan memberikan sanksi terhadapnya. Pada saat yang sama, terdapat juga beberapa permasalahan dalam penerapan kode etik, salah satunya adalah tidak adanya sanksi yang tegas bagi pelanggaran kode etik. Beberapa alasan untuk memberikan hukuman yang keras adalah kurangnya hati, rasa kekeluargaan dan menjaga reputasi perusahaan yang baik.
Pelaksanaan Code of Conduct efektif apabila dapat menerapkan sistem reward and punishment secara adil dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan mengefektifkan GCG di BUMN dan seluruh BUMN, kemungkinan BUMN melakukan praktik korupsi dapat diminimalkan. sumber : Dwi Purwanto https://ekonomi.bisnis.com/read/20230131/9/1623198/opini-mengefektifkan-gcg-di-bumn |