PETER Principle merupakan sebuah fenomena yang menggambarkan
seseorang dalam organisasi yang terus mendapatkan kenaikan posisi atau jabatan,
meskipun tidak ada penambahan atau pendalaman keterampilan yang signifikan.
Sayangnya, masih banyak organisasi terjebak pada fenomena tersebut. Padahal,
ketika seseorang mendapatkan tugas dan tanggung jawab lebih besar, keterampilan
yang ia butuhkan pun pasti perlu ditingkatkan. Fenomena tersebut sering kali
terjadi lantaran kesibukan operasional dan anggapan bahwa peningkatan
keterampilan bisa dilakukan sedikit demi sedikit seiring waktu berjalan.
Padahal, saat ini, organisasi dituntut untuk semakin canggih menghadapi
persaingan bisnis dan harapan pelanggan yang semakin tinggi. Contohnya, dalam
menghadapi pelanggan yang tadinya hanya melakukan transaksi pendek dengan jual
beli biasa. Selain memberikan pelayanan terbaik, saat ini, perusahaan juga
perlu memelihara hubungan baik dengan pelanggan, bahkan sampai mendidik mereka
untuk lebih cerdas dalam membeli. Oleh karena itu, peningkatan keterampilan
tidak hanya dibutuhkan dalam proses promosi atau mutasi. Apa pun situasinya,
individu tetap perlu menjadi lebih mahir dan makin ahli lagi di dalam
pekerjaannya. Peningkatan keterampilan itu bisa saja dipelajari secara
alamiah. Namun, perusahaan juga bisa membuat program upskilling yang
terstruktur sehingga peningkatan keterampilan berjalan lebih cepat. Ketika
seorang karyawan cukup lama menduduki suatu posisi, ia pasti akan
mempertanyakan “Now what? What’s next?”
Beberapa perusahaan memang merancang struktur organisasi yang tidak memiliki
jenjang terlalu banyak. Akan tetapi, dalam kondisi seperti itu, jawaban apa
yang harus diberikan terhadap pertanyaan karyawan tersebut? Satu-satunya
jawaban adalah meningkatkan keterampilan karyawan. Namun, apakah hal tersebut
mudah untuk diterapkan? Setidaknya, ada beberapa aspek yang menghambat
peningkatan keterampilan karyawan. Pertama, karyawan harus bekerja dan
berproduksi sehingga otomatis waktu untuk belajar dan berlatih pun terbatas. Kedua, baik karyawan maupun atasan, termasuk divisi human
capital, sering tidak tahu persis hal atau keterampilan apa lagi yang perlu
dipelajari oleh karyawan. Ahli pelatihan dan pengembangan Erin Posnick
mengatakan, “Unfortunately, most of the
time, those same employees who say they want more training also struggle to
identify what skills and development they’d like more of.” Jadi, perusahaan
yang berniat untuk mengembangkan karyawannya perlu memikirkan strategi
upskilling masak-masak. Apalagi pada era volatility,
uncertainty, complexity, and ambiguity (VUCA) seperti sekarang, ketika
semua individu dituntut untuk lebih agile dan adaptable. Oleh karena itu, kita
bisa menganggap bahwa masa pandemi Covid-19 adalah kesempatan terbaik untuk
melakukannya. Akan tetapi, sebelum menerapkan strategi upskilling, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, kita
perlu menyosialisasikan sense of
development kepada semua karyawan. Sense
of development membuat individu tidak merasa mentok dalam kariernya. Hal
ini berbeda dengan sense of contribution,
yaitu perusahaan juga menuntut kesungguhan individu untuk berkontribusi. Banyak
individu berpikir bahwa mereka sudah bekerja mati-matian, tetapi masih merasa
tidak berkembang. Menjawab hal itu, seorang eksekutif mengatakan, “Careers are employee owned, manager
supported, company enabled. But it all starts with employee self-advocacy.
People must shift when the business shifts.” Rasa itulah yang perlu
dikembangkan bersama, baik oleh individu maupun atasan, dan ditunjang oleh
perusahaan. Untuk itu, para manajer perlu meningkatkan intensitas hubungan “one
on one” dengan bawahannya sehingga bisa meyakini bahwa bawahan memang ingin dan
tahu bagaimana mengembangkan dirinya. Kedua, perusahaan perlu menunjukkan kepada para karyawan
bahwa manajemen peduli pada perkembangan individual. Perlu ada komunikasi
intensif antara karyawan dan para atasannya mengenai perkembangan keterampilan.
Kegiatan upskilling harus menjadi
topik yang populer dan dibicarakan antara atasan dan bawahan. Bukan lagi
merupakan penilaian yang mencemaskan bawahan. Justru diharapkan dari hasil
belajar ini, ada ide-ide yang dapat menjadi masukan bagi pengembangan bisnis.
Ketiga, kita perlu memiliki peta pengembangan yang jelas. Untuk menghindari
persepsi karyawan bahwa pengembangan keterampilannya bagaikan jalan yang tidak
berujung, kita perlu menciptakan roadmap dari keterampilan-keterampilan yang
sedang ditingkatkan. Hal itu akan membuat individu semakin termotivasi karena
menyadari bahwa ia semakin jago di suatu bidang serta bisa melihat proses
kemajuan dirinya sendiri. Dengan demikian, individu dapat mengatakan pada dirinya
sendiri bahwa ia sudah berkembang. Pascapandemi, kesempatan membangun
profesional yang lebih terampil Kita sudah mendengar berulang kali bahwa masa pandemi
mempercepat perubahan, disrupsi, dan inovasi teknologi yang dahsyat. Perubahan
ini memang membuat banyak perusahaan tergagap. Bahkan, lembaga-lembaga
pemerintah yang bergengsi dan memiliki begitu banyak profesional pun kelabakan.
Banyak organisasi merasa bahwa karyawannya tidak siap. Di sinilah, kita dapat
merasakan kesenjangan keterampilan. Tepatnya, antara keterampilan yang sedang
dimanfaatkan bagi operasional sehari-hari dan yang dibutuhkan untuk menghadapi
tantangan masa depan. Upaya seperti continuous
learning dan lainnya juga belum dapat menutupi kesenjangan tersebut. Oleh
karena itu, kita perlu memiliki cara agar bisa mendapatkan quick wins dari beberapa program yang dibuat. Pertama, kita perlu
berfokus pada apa yang sesungguhnya dibutuhkan organisasi saat ini dan masa
mendatang. Banyak pendapat mengatakan bahwa setiap karyawan pelu melakukan
adaptasi digital. Namun, perusahaan harus menggambarkan secara spesifik
adaptasi digital yang dibutuhkan oleh organisasi dan harus dikuasai oleh
karyawan. Ini bukan peran atau jabatan, melainkan keterampilan. Kedua, program
upskilling perlu dilakukan secara serius dan profesional. Bila perlu, kita
berinvestasi dengan melibatkan profesional dari luar untuk pelatihan dan
pengembangannya. Sudah waktunya kita memetakan kondisi bisnis pascapandemi dengan semua
tantangan barunya. Membangun keterampilan tidak bisa dilakukan sekejap mata.
Semakin cepat kita bersiap dan semakin kuat program yang kita susun, tentunya
akan semakin menguntungkan bagi organisasi.
sumber:
https://money.kompas.com/read/2022/02/05/080200926/mendesain-strategi-upskilling |