Tujuan utama dibentuknya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
atau tax treaty adalah untuk menghindari terjadinya pajak
berganda antara 2 (dua) negara. Akan tetapi, dalam praktiknya tax
treaty mengakibatkan masalah baru, salah satunya adalah penyalahgunaan
manfaat tax treaty melalui skema treaty shopping. Apa
itu treaty shopping? Victor Thuronyi menjelaskan treaty
shopping merupakan suatu praktik yang dilakukan oleh wajib pajak suatu
negara yang tidak memiliki tax treaty dan mendirikan anak
perusahaan di negara yang memiliki tax treaty, kemudian melakukan
kegiatan investasinya melalui anak perusahaan tersebut, sehingga investor
tersebut dapat menikmati tarif pajak rendah dan fasilitas-fasilitas perpajakan
lainnya yang tercantum dalam tax treaty tersebut. Arnold dan McIntyre menyatakan bahwa treaty shopping diartikan
sebagai: “the use of a tax treaty by a person who is not resident in neither
of the treaty countries, usually through the use of a conduit entity resident
in one of the countries”. Dengan kata lain, bahwa treaty shopping dapat diartikan
sebagai penggunaan tax treaty oleh orang yang bukan resident (subjek
pajak dalam negeri) dari kedua negara mitra tax treaty, biasanya
melalui pembentukan perusahaan cangkang (conduit) di salah
satu negara mitra tax treaty tersebut. Dalam konteks tax
treaty Indonesia, Mansury menyatakan treaty shopping dapat
digambarkan sebagai upaya dari wajib pajak yang sebenarnya bukan wajib pajak
dalam negeri dari negara yang mempunyai tax treaty dengan
Indonesia untuk mendirikan suatu badan hukum baru di negara yang
mempunyai tax treaty dengan Indonesia. Tujuannya agar penghasilan
yang berasal dari Indonesia itu dapat menikmati fasilitas yang diberikan tax
treaty Indonesia, namun badan tersebut, sebenarnya bukan beneficial
owner atas penghasilan dari sumber penghasilan di Indonesia. Badan
hukum baru yang didirikan dengan tujuan semata-mata untuk menyalurkan
penghasilan dari Indonesia tersebut lazim disebut sebagai conduit
company. Dari beberapa pendapat mengenai treaty shopping tersebut
di atas, dapat disimpulkan bahwa treaty shopping merupakan
suatu upaya subjek pajak yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan
fasilitas tax treaty dari suatu negara, namun subjek pajak
tersebut membentuk suatu perusahaan (conduit company) di negara yang
mempunyai tax treaty tersebut untuk mendapatkan
fasilitas-fasilitas perpajakan yang tercantum dalam tax treaty negara
bersangkutan. Upaya penyalahgunaan tax treaty tersebut,
disebut sebagai abusive karena menggunakan pasal-pasal dalam
perjanjian penghindaran pajak berganda yang tidak sesuai dengan maksud dan
tujuan dibuatnya tax treaty, yaitu untuk menghindari pajak berganda
dan mencegah terjadinya penghindaran pajak. Untuk meminimumkan risiko treaty
shopping, Darussalam menyatakan Indonesia perlu melakukan renegoisasi tax
treaty untuk dapat memasukan pasal yang menyangkut pembatasan
penggunaan tax treaty bagi mereka yang melakukan penyimpangan
dari tujuan diadakannya tax treaty, yaitu Pasal tentang Limitation
on Benefit (LoB). Pasal tentang Limitation on Benefit telah diberlakukan
dalam tax treaty antara India-US. Mahkamah Agung di India
dalam putusannya menyatakan bahwa jika otoritas pajak India ingin menyatakan
bahwa negara pihak ketiga (non-resident country) tidak berhak untuk
mendapatkan fasilitas yang disediakan dalam perjanjian penghindaran pajak
berganda, maka negara harus mengadopsi ketentuan Limitation of Benefits seperti
yang terdapat dalam tax treaty India-Amerika Serikat. Maksud
diadakan ketentuan Limitation of Benefits tersebut adalah
dalam rangka untuk mencegah penyalahgunaan perjanjian penghindaran pajak
berganda oleh subjek pajak yang tidak berwenang dan dalam rangka untuk
kepastian hukum bagi subjek pajak. Sehubungan dengan ketentuan Limitation
of Benefits di Indonesia, perjanjian penghindaran pajak
berganda Indonesia saat ini hanya mempunyai pasal Limitation of
Benefits dengan Amerika Serikat. Untuk dapat memasukkan (renegosiasi)
pasal tersebut dalam P3B yang masih berlaku saat ini adalah sesuatu yang cukup
sulit. Pasalnya, masa berlaku perjanjian penghindaran pajak berganda dengan satu
negara sampai renegosiasi rata-rata sekitar 14 tahun. Hal ini bisa terjadi
karena suatu renegosiasi memerlukan adanya kepentingan bersama dari dua negara
yang mengadakan renegosiasi P3B tersebut. Oleh karena itu, keinginan sepihak
untuk memasukkan anti penghindaran pajak dalam perjanjian penghindaran pajak
berganda banyak menemui kendala dalam praktiknya. Adapun saat ini, upaya untuk
memasukkan klasul tentang anti-treaty abuse telah disarankan
oleh OECD dan G20, dalam Base Erosion and Profit Shifting (BEPS)
Action Plan 6.
Sumber: https://news.ddtc.co.id/memahami-arti-treaty-shopping-8396?page_y=0 |