Komensalisme ke
Mutualisme antara Pajak dan Pendidikan Dalam meningkatkan kualitas
pendidikan, dibutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Pajak, yang dari tahun ke
tahun selalu menjadi tulang punggung penerimaan negara, tentunya menjadi sumber
pendanaan utama. Sementara, tercapainya target pengumpulan pajak sangat
dipengaruhi oleh kesadaran dan kepatuhan perpajakan masyarakat selaku wajib
pajak. Oleh sebab itu, secara tidak langsung sebenarnya sektor pendidikan juga
mengemban tanggung jawab untuk memastikan keberlanjutan dirinya sendiri. Dengan tanggung jawab tersebut,
tidak tepat jika hubungan pajak dan pendidikan dipertahankan sebagai simbiosis
komensalisme (satu pihak mendapatkan keuntungan dan pihak lain tidak menerima
apa-apa). Pendidikan tidak boleh lagi hanya mengharapkan manfaat dari anggaran
yang disediakan oleh pajak tanpa memberikan kontribusi bagi pencapaian target
pajak. Kerangka hubungan pajak dan pendidikan harus berbentuk simbiosis mutualisme
(kedua pihak memberikan keuntungan kepada satu sama lain). Pajak bekerja untuk
mengumpulkan anggaran untuk sektor pendidikan dan pendidikan bekerja untuk
menghasilkan generasi dengan kesadaran dan kepatuhan pajak yang tinggi. Lebih lanjut, simbiosis mutualisme
di antara kedua sektor tidak hanya menguntungkan keduanya. Sektor lain juga
akan mendapatkan imbas positif. Apabila sektor pendidikan berhasil dalam
mendorong kesadaran pajak, penerimaan pajak dapat tumbuh sehingga rasio pajak
juga akan meningkat. Peningkatan penerimaan pajak selain berarti penguatan
kemandirian finansial negara juga berarti semakin besar dana yang tersedia
untuk belanja sektor-sektor vital lainnya yang turut memengaruhi kesejahteraan
nasional. Adapun rasio pajak merepresentasikan kinerja pajak dan perekonomian
suatu negara. Rasio pajak Indonesia sendiri masih tergolong rendah dibandingkan
negara-negara di kawasan ASEAN. Langkah nyata yang dapat dilakukan
sektor pendidikan adalah dengan memasukkan materi perpajakan ke kurikulum sekolah.
Wacana ini sempat disebut dalam acara ‘Pajak Bertutur 2021’. Menteri Keuangan
Sri Mulyani menyatakan bahwa ide tersebut akan diselenggarakan melalui kerja
sama Kementerian Keuangan dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi. Ide ini perlu disambut positif sebab pengintegrasian pajak dengan
kurikulum pendidikan berpotensi menjangkau hampir seluruh wajib pajak masa
depan (OECD, 2021). Studi di beberapa negara juga telah menunjukkan adanya
perbaikan perilaku pajak melalui transfer pengetahuan perpajakan (Morgan,
2018). Oberholzer dan Nel (2006) menyatakan bahwa pendidikan pajak memiliki
peluang keberhasilan yang paling tinggi apabila diimplementasikan di level
sekolah. Memberikan pendidikan pajak sejak
dini juga akan menurunkan biaya kepatuhan dan penegakan hukum di masa depan.
Wajib pajak dapat terhindar dari sanksi pajak karena mereka telah memahami hak
dan kewajiban perpajakan mereka. Otoritas pajak juga dapat meminimalkan biaya
penagihan pajak karena wajib pajak telah secara sukarela patuh terhadap
ketentuan. Di samping itu, pemahaman akan pajak juga mengurangi potensi
sengketa pajak (Thuronyi dan Espejo, 2013). Masuknya pajak ke dalam kurikulum
pendidikan pun sejalan dengan tujuan pendidikan menurut Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional. “Menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab” jelas termaktub dalam aturan tersebut. Mendidik generasi penerus untuk
patuh akan kewajiban perpajakannya tentu saja selaras dengan tujuan tersebut.
Upaya inklusi pajak dalam kurikulum pendidikan tidak luput pula dari tantangan. Setidaknya ada tiga hal yang harus diantisipasi. Pertama, perubahan kebijakan pendidikan seiring pergantian periode pemerintahan. Kedua, kualitas tenaga pendidik yang akan mengajarkan pajak. Ketiga, strategi belajar yang membuat siswa tertarik, alih-alih antipati terhadap pajak. Oleh: Lutfiya Tussifah, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
https://www.pajak.go.id/index.php/id/artikel/pajak-dan-pendidikan-dari-komensalisme-ke-mutualisme
|