Pemerintah
menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara bertahap. Menjadi 11%
mulai 1 April 2022 dan 12% mulai 1 Januari 2025. Hal ini tertuang dalam
Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) yang akan
disahkan pada sidang Paripurna DPR RI yang berlangsung pada tanggal 7 Oktober
2021. Artinya tarif PPN sebesar 10% yang telah ditetapkan selama bertahun-tahun
hanya akan berlaku hingga kuartal I-2022. Setelahnya akan naik dan kenaikan
akan dibebankan kepada masyarakat atau konsumen. Kenaikan PPN ini pun dianggap
tidak tepat oleh banyak pihak. Terutama di tengah kondisi perekonomian serta
daya beli masyarakat yang belum pulih akibat tekanan pandemi Covid-19. Kenaikan tarif PPN
ini dilakukan pemerintah untuk menambah penerimaan negara yang terkontraksi
tajam saat pandemi Covid-19. Di mana saat pandemi pemerintah juga telah
memberikan 'vitamin' bagi pelaku usaha dan masyarakat agar bisa tetap bertahan.
Kemudian, begitu ada pemulihan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
mengatakan, maka saat nya pemerintah melakukan konsolidasi fiskal.
Mengembalikan defisit ke bawah 3% pada 2023 yang harus dimulai dari sekarang. Terutama dengan
menggenjot penerimaan pajak salah satunya dengan kenaikan tarif PPN. Apalagi
tarif PPN sudah lama tidak naik. Namun, jika dilihat ternyata tarif PPN RI yang
sebesar 10% saat ini tidak kecil maupun besar dibandingkan negara lain di
dunia. Jika dibandingkan negara tetangga di ASEAN, tarif PPN RI terbilng cukup
tinggi. Misalnya, dari
data OECD per November 2020, tarif PPN Singapura hanya 7%, Thailand 7% dan
Vietnam dan Korea Selatan 10% (setara RI). Mungkin yang di atas RI ada Filipina
yang tarif PPN nya 12%. Kemudian di negara maju
memang banyak tarif PPN nya memang jauh lebih tinggi dari RI. Misalnya Turki
18%, Argentina 21%, Brazil 17%-18%, China 13%, Denmark 25%, Perancis 20%,
Jerman 19%, Meksiko 16% serta Inggris 20%. |