Fenomena Pembatalan Pajak Suatu
ketika, ada seorang wajib pajak di sebuah kabupaten kecil yang bisa dibilang
cukup 'fenomenal'. Bagaimana tidak? Ketika berbicara tentang Pengusaha Kena
Pajak (PKP), baik secara subyektif maupun obyektif, wajib pajak yang berinisial
'A' ini terlihat tidak tahu apa-apa, dan ketika rekan-rekan bisnisnya mendesak
agar 'A' segera mendaftarkan diri sebagai PKP, tetap saja tidak digubris. Surat
berulang kali dilayangkan oleh fiskus, namun lagi-lagi dianggap buang-buang
waktu: karena sama sekali tidak ada respon dari si A, maka fiskus melakukan
pemeriksaan pajak sebagai upaya terakhir, yaitu dengan menerapkan Standar
Operasional Prosedur (SOP) sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku, yang
berujung pada tagihan pajak yang sangat besar. Singkat
cerita, Wajib Pajak kaget dengan tagihan pajak yang sangat besar tersebut.
Wajib Pajak mencoba melakukan tindakan dan upaya hukum di bidang perpajakan,
antara lain keberatan, banding, peninjauan kembali dan bahkan menyurati
penguasa tertinggi negara. Tidak hanya itu, Wajib Pajak melaporkan permasalahan
pajak tersebut kepada otoritas pajak, sehingga kasusnya melampaui bidang
perpajakan. Rupanya, segala upaya dilakukan untuk membalikkan hasil pemeriksaan
oleh fiskus. Apa
yang terjadi. Pada semua tahap perlawanan, banding dan peninjauan kembali,
wajib pajak telah dengan sengaja melakukan perbuatan yang merugikan negara,
sesuai dengan locus, modus dan tempus yang diakui oleh struktur hukum yang
berlaku.
Jadi, apakah wajib pajak menyerah? Tidak, mereka tidak menyerah. Wajib Pajak 'A' mencoba masuk ke dunia media sosial. Di sana, hukum viral dan budaya pembatalan sangat dominan. https://www.pajak.go.id/id/artikel/budaya-viral-cancel-culture-dan-pentingnya-literasi
Oleh: Hendrawan Agus Prihanto, pegawai Direktorat
Jenderal Pajak |