• 09.00 s.d. 18.00

Fenomena Pembatalan Pajak

Suatu ketika, ada seorang wajib pajak di sebuah kabupaten kecil yang bisa dibilang cukup 'fenomenal'. Bagaimana tidak? Ketika berbicara tentang Pengusaha Kena Pajak (PKP), baik secara subyektif maupun obyektif, wajib pajak yang berinisial 'A' ini terlihat tidak tahu apa-apa, dan ketika rekan-rekan bisnisnya mendesak agar 'A' segera mendaftarkan diri sebagai PKP, tetap saja tidak digubris.

 

Surat berulang kali dilayangkan oleh fiskus, namun lagi-lagi dianggap buang-buang waktu: karena sama sekali tidak ada respon dari si A, maka fiskus melakukan pemeriksaan pajak sebagai upaya terakhir, yaitu dengan menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku, yang berujung pada tagihan pajak yang sangat besar.

 

Singkat cerita, Wajib Pajak kaget dengan tagihan pajak yang sangat besar tersebut. Wajib Pajak mencoba melakukan tindakan dan upaya hukum di bidang perpajakan, antara lain keberatan, banding, peninjauan kembali dan bahkan menyurati penguasa tertinggi negara. Tidak hanya itu, Wajib Pajak melaporkan permasalahan pajak tersebut kepada otoritas pajak, sehingga kasusnya melampaui bidang perpajakan. Rupanya, segala upaya dilakukan untuk membalikkan hasil pemeriksaan oleh fiskus.

 

Apa yang terjadi. Pada semua tahap perlawanan, banding dan peninjauan kembali, wajib pajak telah dengan sengaja melakukan perbuatan yang merugikan negara, sesuai dengan locus, modus dan tempus yang diakui oleh struktur hukum yang berlaku.

 

Jadi, apakah wajib pajak menyerah? Tidak, mereka tidak menyerah. Wajib Pajak 'A' mencoba masuk ke dunia media sosial. Di sana, hukum viral dan budaya pembatalan sangat dominan. 

https://www.pajak.go.id/id/artikel/budaya-viral-cancel-culture-dan-pentingnya-literasi

Oleh: Hendrawan Agus Prihanto, pegawai Direktorat Jenderal Pajak


 Copyright stekom.ac.id 2018 All Right Reserved