Generasi milenial memiliki preferensi yang cukup berbeda
dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Dengan bidang kerja dan kompetensi
yang lebih variatif, beberapa kaum muda ini seperti dilansir BigAlpha memiliki
penghasilan yang cukup mencengangkan.
Jumlah penghasilan yang diraih di usia produktif mungkin
sudah sangat memadai jika ditakar dengan pertimbangan orang dari generasi
sebelumnya. Pertanyaannya, ke mana para milenial ini menghabiskan uangnya?
Lifestyle adalah kunci. Sebuah survei menunjukkan
bahwa lebih dari tiga perempat generasi muda ingin memiliki pakaian, mobil, dan
peralatan teknologi yang sama dengan teman-teman mereka. Sosial ekonomi dan
gaya hidup memiliki peran besar dalam menunjukkan eksistensi mereka sehari-hari.
Menabung dilakukan bukan untuk membeli aset,
tetapi preferensinya adalah memenuhi gaya hidup, seperti nongkrong, ngopi,
shopping, dan liburan fancy.
Sementara itu, masih ada kaum muda yang tidak
melakukan perencanaan keuangan seperti generasi sebelumnya. Data menunjukkan
bahwa mereka tidak membeli rumah, mobil, atau menabung untuk masa pensiun
seperti yang dilakukan generasi orangtua.
Untuk kaum muda, bagaikan ada prioritas yang
berbeda dari orang kebanyakan tentang cara menghabiskan uang yang dimiliki.
Elemen Penting
Organisation for Economic Co-operation and
Development (2016) mendefinisikan literasi keuangan sebagai pengetahuan dan
pemahaman atas konsep dan risiko keuangan, berikut keterampilan, motivasi,
serta keyakinan untuk menerapkan pengetahuan dan pemahaman yang dimilikinya
tersebut dalam rangka membuat keputusan keuangan yang efektif, meningkatkan
kesejahteraan keuangan (financial well-being) individu dan masyarakat, dan
berpartisipasi dalam bidang ekonomi.
Literasi keuangan merupakan elemen penting dari
stabilitas ekonomi dan keuangan, baik untuk individu maupun ekonomi global.
Perkembangan luas di pasar keuangan telah berkontribusi dalam meningkatkan
kepedulian tentang tingkat literasi keuangan masyarakat dunia. Apalagi krisis
keuangan baru-baru ini menunjukkan bahwa keputusan keuangan yang keliru,
seringkali disebabkan oleh kurangnya literasi keuangan, dapat mengakibatkan
konsekuensi negatif yang luar biasa.
Hasil survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat
bahwa indeks literasi keuangan mencapai 38,03 persen. Artinya, dari 100 orang
hanya sekitar 38 orang yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kepercayaan
yang memadai mengenai produk dan layanan keuangan (well-literate). Hal ini
berarti masyarakat Indonesia belum sepenuhnya memiliki pengetahuan yang cukup
mengenai bagaimana mengoptimalkan pemanfaatan uang untuk kegiatan yang
produktif.
Masyarakat juga belum memahami dengan baik berbagai
produk dan layanan jasa keuangan yang ditawarkan oleh lembaga jasa keuangan
formal dan dikhawatirkan lebih tertarik pada konsumerisme, bahkan investasi
lain yang berpotensi merugikan (bodong).
Generasi muda yang well-literate akan berpengaruh
dalam menciptakan perekonomian negara yang lebih stabil. Stabilitas sistem
keuangan diharapkan dapat dicapai secara mangkus dan sangkil sehingga mampu
bertahan terhadap kerentanan internal maupun eksternal. Oleh karena itu,
seluruh elemen, termasuk lembaga keuangan, pasar keuangan, infrastruktur
keuangan, serta perusahaan non-keuangan dan setiap individu, terutama kaum
milenial dapat saling berinteraksi dalam pendanaan dan penyediaan pembiayaan
perekonomian yang sehat.
Dampak Ekonomi
Generasi milenial akan segera menjadi bagian
terbesar dari pasar tenaga kerja; diproyeksikan pada 2025, tiga per empat
secara global akan menjadi milenial (Schawbel, 2012). Perilaku finansial mereka
akan lebih mempengaruhi ekonomi global daripada perilaku keuangan generasi sebelumnya.
Indonesia sendiri diproyeksi pada 2030 akan mengalami bonus demografi.
Bagaimana kita dapat memanfaatkan bonus demografi ini menjadi keunggulan, perlu
dipikirkan lebih jauh.
Berdasarkan penelitian, secara umum, kaum milenial
memiliki peluang yang lebih kecil dalam masalah dengan utang, dan peluang lebih
besar menabung untuk masa pensiun dan alasan lainnya (Lusardi dan Mitchell,
2014). Sehingga, pemerintah dalam hal ini OJK harus mempertimbangkan untuk
meningkatkan upaya pendidikan keuangan.
Mengingat pentingnya literasi keuangan dalam
sistem perekonomian saat ini, upaya pemerintah membantu kaum milenial
memperoleh pengetahuan keuangan di tempat pendidikan dan tempat kerja terbukti
sangat berhasil. Penelitian telah menunjukkan bahwa program literasi keuangan
yang difokuskan pada perilaku dan populasi tertentu merupakan keputusan
keuangan yang lebih cerdas (Miller et al., 2014).
Ketidakpedulian pada konsep keuangan dapat
berdampak signifikan. Jika gagal memahami konsep bunga, maka akan berakibat
pada peningkatan biaya yang dikeluarkan, utang yang lebih besar, dan bahkan
terperangkap dengan pinjaman online dan rentenir. Di samping itu, manfaat
potensial literasi keuangan cukup esensial.
Orang-orang well-literate melakukan perencanaan
kerja yang lebih baik dan mempersiapkan diri menghadapi masa pensiun. Jika
pensiun telah direncanakan dengan apik, maka akan lebih mudah mengambil langkah
selanjutnya, yaitu investasi. Investasi dapat dimulai dari yang paling low
risk, seperti SBR009 (Saving Bond Ritel milik negara).
Mulai dari Kampus
Berdasarkan Strategi Nasional Literasi Keuangan
Indonesia (SNLKI), kebijakan konvensional tentang advokasi literasi keuangan
dimulai pada masa sekolah. Hal ini dirasa kurang tepat sasaran. Justru malah
perguruan tinggi yang merupakan waktu terbaik untuk mulai belajar secara
mendalam tentang keuangan.
Advokasi keuangan di sekolah menengah kurang
menyentuh kehidupan aktual pelajar. Sebaliknya, di perguruan tinggi, mahasiswa
yang mayoritas tidak tinggal bersama orangtua mulai menghadapi situasi
kehidupan orang dewasa dan memiliki masalah keuangan yang nyata untuk
diselesaikan.
Pada masa ini kemungkinan menjadi interaksi awal
dengan kartu kredit atau debit mereka sendiri, membayar sewa kos, mengatur
pengeluaran, ataupun mulai menabung di bank. Kampus memiliki tanggung jawab
untuk membantu di fase awal proses pendewasaan para milenial ini.
Sebagai generasi digital pertama, tentu akan
sangat membantu negara jika kaum milenial yang merupakan mayoritas dapat
berperan aktif dalam membantu mendukung penciptaan masyarakat melek finansial.
Tentu harapannya milenial akan menjadi solusi permasalahan bangsa, bukan malah
menambah beban negara.
|