Budaya Viral dan Cancel Culture Awalnya,
pengguna internet di Tiongkok mengumpulkan berbagai informasi dan
menyebarkannya di media sosial dengan tujuan untuk mengkritik atau mengucilkan
partai politik tertentu. Pada
akhirnya, definisi budaya pembatalan diperluas dan dipahami sebagai boikot
kelompok. Profesor Lisa Nakamura dari University of Michigan, dikutip oleh The
New York Times, menyebut budaya pembatalan sebagai 'budaya boikot' terhadap
selebritas, merek, perusahaan, atau konsep tertentu. Apakah
budaya pembatalan selalu berhasil? Jawabannya adalah tidak. Hal ini karena
budaya pembatalan berkaitan erat dengan viralitas. Hanya opini dan narasi yang
berhasil menjadi viral di media sosial yang dapat mempengaruhi budaya
pembatalan. Viralitas juga membutuhkan variabel popularitas dan jumlah pengguna
media sosial yang merespon. Selain
itu, tingkat literasi juga menentukan ke arah mana budaya sosial tersebut akan
dibawa. Namun sayangnya, di berbagai negara, antusiasme dan ketertarikan masyarakat
terhadap penggunaan media sosial tidak dibarengi dengan kualitas literasi
digital sebagian pengguna media sosial. Akibatnya, muncul sejumlah penyimpangan
dan penyalahgunaan media sosial yang digunakan untuk menyerang akun-akun media
sosial milik individu, korporasi, maupun pemerintah. Belajar
dari sifat viral dan pengaruh budaya pembatalan, Wajib Pajak 'A' berusaha
memanfaatkan 'kekuatan media sosial', terutama karena ada banyak contoh budaya
pembatalan yang berhasil diviralkan oleh kelompok/individu tertentu dan
memberikan dampak yang signifikan.
Wajib Pajak 'A' berusaha membangun opini yang menyudutkan dirinya sebagai korban dari fiskus (victim-blaming) tanpa memberikan konteks yang jelas sehingga penyebarannya di media sosial dapat menyesatkan. https://www.pajak.go.id/id/artikel/budaya-viral-cancel-culture-dan-pentingnya-literasi
Oleh: Hendrawan Agus Prihanto, pegawai Direktorat
Jenderal Pajak |