• 09.00 s.d. 18.00

Budaya Viral dan Cancel Culture 

Awalnya, pengguna internet di Tiongkok mengumpulkan berbagai informasi dan menyebarkannya di media sosial dengan tujuan untuk mengkritik atau mengucilkan partai politik tertentu.

 

Pada akhirnya, definisi budaya pembatalan diperluas dan dipahami sebagai boikot kelompok. Profesor Lisa Nakamura dari University of Michigan, dikutip oleh The New York Times, menyebut budaya pembatalan sebagai 'budaya boikot' terhadap selebritas, merek, perusahaan, atau konsep tertentu.

 

Apakah budaya pembatalan selalu berhasil? Jawabannya adalah tidak. Hal ini karena budaya pembatalan berkaitan erat dengan viralitas. Hanya opini dan narasi yang berhasil menjadi viral di media sosial yang dapat mempengaruhi budaya pembatalan. Viralitas juga membutuhkan variabel popularitas dan jumlah pengguna media sosial yang merespon.

 

Selain itu, tingkat literasi juga menentukan ke arah mana budaya sosial tersebut akan dibawa. Namun sayangnya, di berbagai negara, antusiasme dan ketertarikan masyarakat terhadap penggunaan media sosial tidak dibarengi dengan kualitas literasi digital sebagian pengguna media sosial. Akibatnya, muncul sejumlah penyimpangan dan penyalahgunaan media sosial yang digunakan untuk menyerang akun-akun media sosial milik individu, korporasi, maupun pemerintah.

Belajar dari sifat viral dan pengaruh budaya pembatalan, Wajib Pajak 'A' berusaha memanfaatkan 'kekuatan media sosial', terutama karena ada banyak contoh budaya pembatalan yang berhasil diviralkan oleh kelompok/individu tertentu dan memberikan dampak yang signifikan.

 

Wajib Pajak 'A' berusaha membangun opini yang menyudutkan dirinya sebagai korban dari fiskus (victim-blaming) tanpa memberikan konteks yang jelas sehingga penyebarannya di media sosial dapat menyesatkan. 


https://www.pajak.go.id/id/artikel/budaya-viral-cancel-culture-dan-pentingnya-literasi

Oleh: Hendrawan Agus Prihanto, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 Copyright stekom.ac.id 2018 All Right Reserved