KITA sering mendengar pernyataan, “yang penting
adalah isi, bukan kemasannya”. Namun, kita tidak dapat memungkiri bahwa kemasan
yang cantik dapat menaikkan nilai jual suatu produk. Tak jarang, kita tergoda
untuk membeli suatu produk, bahkan mungkin membayar lebih mahal karena kemasan
yang jauh lebih cantik. Padahal, kita sadar bahwa kemasan tersebut tidak
memiliki manfaat fungsional. Demikian juga dengan komunikasi. Tersampaikannya
suatu pesan tidak hanya tergantung isi beritanya, tetapi juga ditentukan cara
penyampaiannya. Kesan yang diterima oleh penerima pesan setelah mendengar
berita yang disampaikan, sebenarnya juga menjadi tanggung jawab pemberi pesan.
Orang bisa ikut bersemangat bila pemberi pesan memberi bumbu nada semangat.
Begitu pula sebaliknya. Meski pemberi berita memberi semangat, kalau
disampaikan dengan nada yang meragukan bisa membuat penerima pesan mendapat
kesan berbeda. Dampak dan langkah yang diambil pun bisa berbeda dari yang
diharapkan oleh pemberi pesan. Para profesional komunikasi, seperti praktisi
public relations (PR), penulis, dan pembicara seminar, menyadari bahwa the key
is not what is said, but how it is said. Namun, banyak praktisi bisnis dan
politik yang sering tidak mampu memanfaatkan bobot emosi yang dapat membuat
pesan lebih produktif. Kekuatan apa yang membedakan karakter-karakter pesan
ini? Di sinilah, bahasa emotif berperan, ketika mengungkapkan suatu pesan
dengan memberikan warna emosi yang tepat. Bahasa emotif adalah retorika yang
biasa digunakan untuk membuat ungkapan lebih berpengaruh. Ada pemilihan
kata-kata, ada juga penekanan nada yang dapat membuat pendengarnya lebih tergelitik
emosinya. Banyak emosi positif dapat digunakan untuk membumbui kalimat yang
kita gunakan, seperti rasa gembira, bangga, berminat, berharap, atau bersyukur.
Sebaliknya, kita juga bisa membumbui kalimat-kalimat kita dengan rasa takut,
tidak senang, marah, sedih, sampai membuat tersinggung. Kalimat seperti “minggu
ini saya sangat sibuk” yang diucapkan dengan desah nafas penuh kekesalan akan
memberi kesan berbeda dengan kalimat “minggu ini jadwal saya penuh” yang
diucapkan dengan nada prihatin. Bahasa emotif memang dapat mentransformasi
kalimat dan mengarahkan penerima pesan. Pemilihan satu kata yang berkonotasi
negatif ataupun positif akan membawa dampak yang berbeda. Banyak pebisnis yang
tidak mau menggunakan kata “bangkrut” atau “rugi” pada saat membicarakan
keadaan perusahaannya yang sedang mengalami kesulitan. Padahal, rugi atau
bangkrut sebenarnya menggambarkan realitas yang terjadi pada bisnisnya.
Memanfaatkan bahasa emotif di pekerjaan Kita dapat menggunakan cara yang
berbeda-beda mengenai pergantian jabatan dan memberikan dampak yang berbeda.
Menggunakan kata “mencopot jabatan”, “digantikan oleh”, atau “diteruskan oleh”
akan memberikan kesan yang berbeda meskipun mengandung pengertian yang sama.
Artinya, kita dapat menentukan apakah penerima pesan merasa positif atau
membuat mereka semakin terpuruk. Apakah ketika menyampaikan kabar buruk, kita
ingin agar penerima pesan ikut terjatuh bersama pesan tersebut? Atau,
sebaliknya. Kita ingin agar mereka memiliki semangat untuk bangkit kembali
serta lepas dari keadaan buruk yang memang sudah terjadi.
https://money.kompas.com/read/2022/07/23/075800526/bahasa-emotif |