Apa
itu Pajak Lemak ? Konsep
pajak lemak pertama kali diusulkan oleh seorang psikolog Amerika bernama AJ
Carlson setelah Pearl Harbour pada tahun 1942. Psikolog ini mengusulkan untuk
mengenakan pajak atas kelebihan berat badan untuk mensubsidi biaya makan dan
perawatan tentara yang bertempur dalam perang dari pendapatan pajak. Salah
satu negara Asia, Jepang, benar-benar menerapkan pajak atas kelebihan berat
badan pada tahun 2008, yang dikenal sebagai 'pajak sindrom metabolik'.
Pemerintah mewajibkan manajemen perusahaan untuk mengukur lingkar pinggang
seluruh karyawannya secara teratur. Jika perusahaan atau pemerintah daerah
tidak memenuhi standar, maka pemerintah akan mengenakan denda pajak. Hal ini
bertujuan untuk mengurangi tingkat obesitas sebesar 25%. Namun, tingkat obesitas
pada tahun 2021 hanya sekitar 4,3%, sebuah indikator bahwa kebijakan pajak
lemak membuahkan hasil yang mengejutkan. Menariknya,
Jepang bukanlah satu-satunya negara di Asia yang memberlakukan pajak lemak
sebagai kebijakan untuk menekan angka obesitas di masyarakat. Dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016, Pemerintah India mengusulkan pajak
sebesar 14,5 persen untuk makanan tertentu seperti burger, pizza, dan makanan
cepat saji yang dijual oleh perusahaan-perusahaan besar seperti McDonald's,
Burger King, Pizza Hut, Domino's Pizza, dan Subway. Seperti
India, Denmark, sebuah negara dengan rasio kena pajak sekitar 45,9% (OECD
2016), juga memberlakukan pajak lemak pada tahun 2011. Pajak ini dikenakan pada
makanan olahan yang mengandung lebih dari 2,3% lemak jenuh. Keju, mentega,
susu, pizza, daging, dan minyak juga terpengaruh oleh kebijakan ini. Namun,
tidak lama setelah itu, pada tahun 2012, Pemerintah Denmark mengumumkan bahwa
pajak lemak akan dihapuskan. Penghapusan kebijakan ini dilatarbelakangi oleh
kebiasaan konsumsi makanan tidak sehat yang tidak berubah, meningkatnya jumlah
produk impor, dan terancamnya keberlangsungan bisnis sebagian besar perusahaan
dan distributor makanan dalam negeri.
Pajak lemak tidak berhasil mengubah kebiasaan konsumsi secara menyeluruh, namun tujuan jangka pendeknya tercapai. Sebuah studi yang dilakukan oleh Universitas Oxford dan Kopenhagen menemukan bahwa konsumsi makanan rendah lemak, buah dan sayuran meningkat sebagai tanggapan terhadap kebijakan tersebut. Selain itu, pendapatan pajak Denmark meningkat sekitar USD 216 juta. sumber : Oleh: Muhammad Rayhan Safhara, pegawai Direktorat
Jenderal Pajak |