PADA umumnya suatu perusahaan akan memberikan imbalan berupa gaji dan
tunjangan dalam bentuk uang yang dibayarkan secara langsung melalui cek ataupun
transfer. Remunerasi dalam bentuk kas atau tunai ini dikenal pula dengan
istilah benefit in cash. Namun, perusahaan sering kali juga
memberikan imbalan dalam bentuk lain seperti barang dan fasilitas tertentu yang
dikenal pula dengan istilah imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan (benefit
in kind). Lantas, apa yang dimaksud dengan imbalan dalam bentuk natura
dan/atau kenikmatan? Bagaimana perlakuan perpajakannya?
Definisi BERDASARKAN Kamus Besar Bahasa Indonesia, natura adalah barang yang
sebenarnya dan bukan dalam bentuk uang. Selanjutnya, berdasarkan Surat Edaran
Dirjen Pajak Nomor SE – 03/PJ.23/1984 kenikmatan dalam bentuk natura adalah
setiap balas jasa yang diterima atau diperoleh pegawai, karyawan, atau
karyawati dan atau keluarganya tidak dalam bentuk uang dari pemberi kerja. Merujuk penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d Undang-Undang No. 36 Tahun 2008
tentang UU Pajak Penghasilan (PPh), penggantian atau imbalan dalam bentuk
natura atau kenikmatan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang. Lebih lanjut,
penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d juga memberikan contoh imbalan dalam bentuk
natura, di antaranya beras, gula, dan sebagainya. Sementara itu, imbalan dalam
bentuk kenikmatan di antaranya seperti penggunaan mobil, rumah, dan fasilitas
pengobatan. Berdasarkan penjabaran tersebut dapat diketahui imbalan dalam bentuk natura
dan/atau kenikmatan merupakan imbalan yang tidak diberikan dalam bentuk tunai.
Kendati sama-sama merupakan imbalan nontunai, keduanya memiliki sedikit
perbedaan di mana natura merupakan imbalan dalam bentuk barang atau fisik,
sedangkan kenikmatan merupakan imbalan dalam bentuk fasilitas.
Perlakuan Pajak PERLAKUAN pajak atas imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan
terbagi menjadi dua. Pertama, imbalan dalam bentuk natura
dan/atau kenikmatan sebagai objek pajak dan nonobjek pajak. Secara umum,
berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf d, imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau
jasa yang diterima dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari wajib pajak
atau pemerintah bukanlah objek PPh. Namun, terdapat pengecualian tertentu yang menjadikan imbalan dalam bentuk
natura dan/atau kenikmatan menjadi objek PPh sehingga dikenai pajak.
Pengecualian ini terjadi jika imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan
diberikan bukan oleh wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara
final, atau wajib pajak yang menggunakan norma perhitungan khusus (deemed
profit) sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 UU PPh. Adapun yang dimaksud dengan bukan wajib pajak antara lain kantor
Sekretariat Jenderal ASEAN di Indonesia dan pihak lain yang diatur Pasal 3 UU
PPh. Selanjutnya, wajib pajak yang dikenai PPh bersifat final misalnya wajib
pajak usaha jasa konstruksi. Sementara itu, wajib pajak yang dikenai PPh
berdasarkan deemed profit di antaranya wajib pajak di usaha
jasa pelayaran luar negeri. Contoh seorang pegawai dari pejabat perwakilan
diplomatik negara asing yang berada di Jakarta, memperoleh kenikmatan berupa
fasilitas tempat tinggal dan kenikmatan dalam bentuk lainnya. Kenikmatan
tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai, sebab pejabat perwakilan
diplomatik yang bersangkutan memenuhi kriteria sebagai bukan wajib pajak. Kedua, imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan
sebagai deductible dan nondeductible expense. Secara
umum berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh, penggantian atau imbalan
sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura
dan/atau kenikmatan tidak dapat menjadi pengurang atas penghasilan bruto dari
pemberi kerja (nondeductible expense). Namun, terdapat beberapa pengecualian untuk
tujuan tertentu sehingga natura/kenikmatan dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto pemberi kerja (deductible expense). Anda juga dapat menyimak
definisi deductible expense pada artikel berikut. Adapun ketentuan natura dan/atau kenikmatan yang dapat menjadi deductible
expense tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
167/PMK.03/2018 yang terbit dan berlaku efektif pada 19 Desember 2018. Melalui
beleid tersebut, pemerintah menegaskan terdapat tiga jenis imbalan natura
dan/atau kenikmatan yang dapat menjadi deductible expense dari
pemberi kerja, yaitu:
Bentuk Tunai LEBIH lanjut, hal yang perlu digaris bawahi adalah pengeluaran sehubungan
dengan pekerjaan yang boleh menjadi deductible expense harus
dilakukan dalam bentuk tunai. Namun, terdapat suatu contoh kasus di mana suatu
penggantian diberikan dalam bentuk tunai bisa menjadi deductible
expense dan dapat pula menjadi nondeductible expense. Kasus
tersebut dapat terjadi berkaitan dengan penggantian biaya pengobatan atau
perawatan. Contoh apabila seorang pegawai mendapatkan perawatan kesehatan dari
suatu rumah sakit, dan rumah sakit itu menerima pembayaran secara tunai dari
pemberi kerja, maka balas jasa yang diterima pegawai tersebut merupakan
kenikmatan dan bukan objek PPh. Oleh karena itu, kendati pemberi kerja melakukan pembayaran dalam bentuk
tunai, pembayaran tersebut dilakukan kepada pihak ketiga bukan kepada pegawai.
Dengan demikian, pembayaran kepada rumah sakit itu merupakan nondeductible
expense bagi pemberi kerja. Sementara, apabila pengantian biaya
perawatan tersebut diberikan secara tunai kepada pegawai baik secara
langsung maupun dimasukkan dalam unsur gaji bulanan pegawai, biaya penggantian
ini merupakan objek PPh. Dengan demikian, penggantian tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai
dan terutang PPh serta dapat menjadi deductible expense bagi
pemberi kerja. Namun, ilustrasi ini hanyalah contoh sederhana untuk memberikan
penggambaran tentang definisi imbalan berupa natura dan/atau kenikmatan.
Sumber:
https://atpetsi.or.id/apa-itu-imbalan-natura-dan-kenikmatan |