Ekonomi Amerika Serikat (AS) berpotensi mengalami resesi sejalan dengan kekhawatiran akan lonjakan inflasi yang terjadi di sepanjang tahun. Potensi resesi menguat usai Federal Reserve AS menaikkan suku bunga 75 basis poin untuk menekan lonjakan inflasi.
Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia, resesi ekonomi akan berpengaruh besar terhadap perekonomian global. Lalu apa dampaknya secara khusus pada ekonomi Indonesia? Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, terdapat beberapa risiko yang harus dihadapi Indonesia terkait ancaman resesi AS.
1. Keluarnya modal asing Pertama, keluarnya modal asing dipasar surat utang karena spread antara imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) dan yield US Treasury di tenor yang sama semakin menyempit. "Investor asing cenderung mengalihkan dana ke aset yang aman, memicu capital outflow di emerging market. Sementara pelemahan nilai tukar rupiah hanya salah satu dampak turunan dari sinyal resesi AS," kata Bhima kepada Kompas.com, Senin (4/7/2022). 2. Penyempitan likuiditas Kedua, penyempitan likuiditas akibat terjadinya perebutan dana antara pemerintah dan bank. Bank dalam posisi mengejar pertumbuhan kredit yang tinggi pasca-pandemi melandai, namun di sisi lain terhalang oleh kenaikan tingkat suku bunga baik di dalam negeri maupun global. Menurutnya, perebutan dana antara pemerintah dan bank dalam menjaga tingkat pembiayaan defisit anggaran akan membuat dana deposan domestik berpindah ke SBN. Ia pun mengingatkan bahwa crowding out atau fenomena penerbitan SBN yang terlalu agresif dengan bunga yang terlalu tinggi, sangat membahayakan kondisi likuiditas di sektor keuangan. 3. Kenaikan suku bunga Ketiga, kenaikan suku bunga Fed rentan di ikuti kenaikan tingkat suku bunga di negara berkembang. Sementara tidak semua konsumen dan pelaku usaha siap menghadapi kenaikan bunga pinjaman. "Imbasnya proyeksi permintaan konsumen rumah tangga bisa kembali menurun dan pelaku usaha akan terganggu rencana ekspansinya. Kredit perumahan dan kendaraan bermotor juga sangat sensitif terhadap kenaikan suku bunga," jelas Bhima. 4. Inflasi Keempat, imported inflation atau inflasi akibat membengkaknya biaya impor bahan baku dan barang konsumsi. Bhima bilang, situasi itu dipicu pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Tercatat indeks dollar mengalami kenaikan 9,19 persen secara year-to-date menjadi ke level 105 per 2 Juli 2022. "Beban biaya produksi terutama bagi perusahaan yang bahan bakunya bergantung pada impor dapat berisiko melemahkan PMI manufaktur," pungkasnya. Sumber: Tempo.com |