• 09.00 s.d. 18.00

Tidak untuk menakut-nakuti, faktanya dunia menghadapi resesi ekonomi serius. Dalam publikasi World Economic Outlook (WEO) bulan Oktober 2022, IMF memproyeksikan pada tahun 2022 dan 2023 terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi yang merata dan kenaikan inflasi tertinggi dalam beberapa dekade.

 

Ada dua alasan yang dikemukakan. Pertama dampak berlanjut dari pandemi Covid-19 dan invasi Rusia ke Ukraina semakin menyumbat disrupsi pasokan energi dan pangan dunia. Keduanya secara simultan berdampak buruk pada meningkatkan biaya hidup dari sektor energi dan pangan. Untuk mengerem laju inflasi, banyak negara merespons dengan cara menaikkan suku bunga bank sentral dan kebijakan sektor keuangan yang ketat sejak awal 2022. Pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan melambat dari 6 persen pada 2021 menjadi 3,2 persen pada 2022 dan 2,7 persen pada 2023. Proyeksi pertumbuhan ekonomi saat ini adalah terburuk sejak 2001.

Inflasi global diperkirakan meningkat dari 4,7 persen pada 2022 menjadi 8,8 persen pada 2022. Meskipun akibat suku bunga tinggi pada 2022, diharapkan tahun 2023 menurun menjadi 6,5 persen pada 2023.Kebijakan moneter ditujukan memulihkan stabilitas harga, sementara kebijakan fiskal ditujukan menurunkan tekanan pada biaya hidup atau cost of living.Kebijakan moneter yang ketat dibarengi dengan disiplin kebijakan fiskal perlu dilakukan sementara untuk mendinginkan perekonomian.Namun miskalukasi dalam pengetatan kebijakan moneter global dapat berakibat pada apresiasi dollar AS yang berlebihan dan depresiasi mata uang di dalam negeri, seperti rupiah.

Di dalam negeri kenaikan suku bunga dan kebijakan fiskal yang memperketat pengeluaran akan berakibat pada hambatan sektor riil dan program sosial. Ini dilema yang dihadapi dalam kebijakan layaknya sebuah vicious circle.

Dunia memasuki resesi?

Dalam dunia empiris, resesi ekonomi ditandai dengan penurunan kinerja ekonomi dalam beberapa bulan yang dtunjukkan dengan pertumbuhan PDB negatif, peningkatan pengangguran, dan penurunan pengeluaran konsumsi rumah tangga. AS dan dan Rusia sudah memasuki dua kuartal pertumbuhan ekonomi negatif pada 2022. Salah satu indikasi terjadi krisis ekonomi. Negara-negara eropa barat akan mengalami pertumbuhan ekonomi negatif pada 2023. Krisis ekonomi telah berdampak buruk dan makin dalam bagi Inggris. Hal ini disampaikan oleh Rushi Sunak pada hari pertamanya menjabat sebagai Perdana Menteri (PM) baru Inggris.

"Saat ini negara kita sedang menghadapi krisis ekonomi yang mendalam," kata Sunak di luar Downing Street No.10, dikutip The Sydney Morning Herald, Rabu (26/10/2022). Inflasi yang tinggi akan terus menekan pendapatan rumah tangga, sementara pemerintah dipaksa untuk menaikkan pendapatan negara dari pajak dan Bank Sentral menaikkan suku bunga. Tiga pukulan sekaligus.

Menurut laporan interim OECD economic outlook (September 2022) dinyatakan bahwa prospek iklim ekonomi dunia benar-benar suram. Pengeluaran domestik terbebani oleh penurunan pendapatan riil, lingkungan ekspor sulit memperoleh pasar dan investasi bisnis mengering karena perusahaan semakin berhati-hati tentang prospek masa depan. Kedua laporan lembaga multilateral dunia tersebut berkesimpulan bahwa risiko krisis global akan sangat besar magnitude-nya.

Kebijakan pengetatan moneter global bisa jadi miskalkulasi sebagai upaya menurunkan inflasi, bahkan bisa jadi dollar AS akan terus terapresiasi. Pengetatan sektor keuangan global juga akan memukul kenaikan biaya utang di negara emerging. Pemburukan ekonomi China dan Jepang membuat mesin ekonomi Asia juga mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Prospek Indonesia

Perekonomian Indoensia diperkirakan masih akan kuat pada tahun 2022, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi sedikit di atas 5 persen. Namun tahun 2023 akan terjadi risiko penurunan. Kebijakan moneter menghadapi tekanan penurunan cadangan devisa dan depresiasi rupiah. Tidak ada pilihan lain untuk sementara kebijakan meneter yang ketat harus diberlakukan. Saat ini di AS dan Eropa, inflasi sudah mulai melandai, namun jangan terlalu optimis terlebih dahulu. Ketahanan fiskal saat ini dalam ujian berat terutama membengkanya subsidi BBM dan listrik, menaiknya biaya utang baik bunga maupun pokoknya karena kenaikan suku bunga dan depresiasi rupiah.

Indonesia juga menghadapi net negative minyak, dengan kenaikan harga minyak akan berdampak negatif pada defisit APBN. APBN 2023 tampaknya harus disesuaikan segera untuk memberikan ruang napas untuk stimulus fiskal dan alokasi program sosial untuk menahan dampak negatif resesi. Pertumbuhan ekonomi mudah-mudahan tetap terjadi di tingkat 5 persen. Kuncinya ialah keberlanjutan dalam reformasi struktural terutama hilirisasi sektor manufaktur dan digitalisasi bisnis. Meskipun banyak negara mengharapkan Indonesia menjadi mesin pertumbuhan dunia, tampaknya hal tersebut berlebih-lebihan.

Suka tidak suka, mesin pertumbuhan ekonomi dunia akan tetap berasal dari AS dan China yang akan memasuki masa-masa pemulihan yang berat pada 2023 dan 2024. Ayo, kita bersama-sama fokus pada program mitigasi dampak negatif krisis global.

Sumber: Kompas.com 

 

 Copyright stekom.ac.id 2018 All Right Reserved